Rabu, 21 Oktober 2015

Validitas Kebenaran Ilmu Pengetahuan



VALIDITAS KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Dr. H.Fathul Mufid, M.Si.
Angkatan 4 Kelas D










                                                                      




Disusun Oleh :
Ù†َÙŠْÙ„َ السَّعَادَÙ‡ْ
Nailassa’adah, S.Pd.I.(14060)
                                       



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2015


BAB I. PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, mengembangkan, menjelaskan, serta menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya tanpa melaksanakan kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin dan konflik spikologis.
Manusia memiliki potensi untuk mencari, menemukan, dan menerima kebenaran ilmu pengetahuan, karena pada diri manusia terdapat lima dimensi yaitu, Al-Jism, Al-aql, Al-qolb, Al-ruh, dan Al-fitroh. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan atau sejarah pengungkapan kebenaran tercatat bahwa dua dimensi yang pertama yaitu, Al-jism (indrawi, sensoris) dan Al-Aql (pikiran, rasional) telah berkembang mencapai puncaknya. Bahkan di dunia Barat kedua dimensi ini diyakini sebagai sumber kebenaran dan sarana pengembangan ilmu pengetahuan.[1]
Berhubungan dengan latar belakang di atas, maka dalam makalah ini pemakalah akan menyajikan beberapa pokok pembahasan, diantaranya tentang hakekat kebenaran, teori-teori kebenaran, Jenis-jenis kebenaran, dan kebenaran dalam pandangan Islam. 

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa hakekat dari sebuah kebenaran itu?
2.    Apa saja teori-teori kebenaran menurut para filosof?
3.    Apa saja jenis-jenis kebenaran?
4.    Bagaimana pandangan Islam tentang kebenaran?
BAB II. PEMBAHASAN

A.  Hakekat Kebenaran
Kebenaran berasal dari kata “benar” yang mendapat awalan dan imbuhan (ke-an), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa benar berarti: 1. Sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah apa yang dikatakan itu, 2. Tidak berat sebelah (adil), 3. dapat dipercaya (cocok dengan keadaan yang sesungguhnya). Sehingga makna kebenaran adalah keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya.[2]
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek.[3] Bisa juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yang sesuai dengan tidak ditolak oleh orang lain dan tidak merugikan diri sendiri.
Kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang merupakan obyek dan pengetahuan tidak sesuai.Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyek, yakni pengetahuan yang obyektif.[4]
Menurut Oxford Learner's Pocket Dictionary, truth atau kebenaran itu adalah: “The true facts about something, rather than things that have been invented or guessed, quality or state of being based on fact, fact that is generally accepted as true”.[5]
Kamus Oxford menterjemahkan kebenaran dengan beberapa pengertian:
1.    Fakta atau keyakinan yang dapat diterima sebagai sesuatu yang benar.
2.    Kualitas atau keberadaan yang benar.
3.    Kebenaran adalah satu dari dua pilihan penilaian terhadap suatu hal yang diberikan seseorang setelah melalui serangkaian pertimbangan yang didasarkan pada suatu standar.
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata yang konkret maupun abstrak. Kebenaran merupakan proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila subjek menyatakan bahwa kebenaran itu merupakan proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat, dan karakteristik, hubungan dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat hubungan dan nilai itu sendiri.[6]
Sedang Sidi Gazalba dalam bukunya yang berjudul “Sistematika Filsafat” menjelaskan bahwa makna “kebenaran” adalah soal hubungan antara ilmu pengetahuan dengan apa yang menjadi obyeknya. Artinya, apabila terdapat penyesuaian dalam hubungan antara obyek dan pengetahuan kita tentang obyek itu, sehingga kebenaran adalah hubungan antara ide-ide  kita tentang dunia realitas.[7]
Sedangkan pemakalah sendiri menyimpulkan bahwa hakekat Kebenaran adalah kesetiaan keputusan atas fakta atau realita obyektif. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Bapak Fathul Mufid dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Ilmu Islam”.Apabila keputusan tidak bisa dibandingkan dengan fakta atau realitas, maka jalan yang ditempuh adalah menghubungkan keputusan tersebut dengan keputusan-keputusan lain yang telah dipercayai kebenaran dan kesahihannya, setelah itu keputusan tersebut diuji berdasarkan kegunaan dan akibat-akibat praktis dari keputusan tersebut. Hakekat tentang suatu kebenaran ini dapat pemakalah simpulkan setelah memahami teori-teori kebenaran menurut Para Filosof.

B.  Teori-teori Kebenaran Menurut Para Filosof
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof bersandar kepada 4 cara untuk menguji kebenaran, yaitu teori koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, teori pragmatis, dan teori religius. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh John S. Brubacher dalam bukunya yang berjudul “Modern Philosophies of Education” mengemukakan empat teori tentang kebenaran sebagai berikut:
1.    Teori Korespondensi (Correspondence)
Berfikir korespondensi adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu yang lain. Korespondensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan antara fakta dengan yang diyakini. Ujian kebenaran teori korespondensi ini paling banyak diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif(fidelity to objective reality).Sebagaimana dikatakan oleh White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to objective reality”.[8]Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan dengan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[9]
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan dikatakan benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[10] Jadi, sesuatu pertimbangan atau pernyataan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan atau pernyataan itu dianggap salah.
Untuk lebih jelasnya, pemakalah akan memberikan contoh konkretnya. Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “STAIN Kudus merupakan salah satu PTAIN yang berada di Jawa Tengah”, maka pernyataan itu benar. Sebab pernyataan tersebut sesuai dengan obyek yang bersifat faktual, yakni STAIN Kudus berada di kota Kudus, yang mana kota Kudus memang benar-benar berada di provinsi Jawa Tengah. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “STAIN Kudus merupakan salah satu PTAIN yang berada di Jawa Timur”, maka pernyataan itu tidak benar, sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “STAIN Kudus bukan berada di Jawa Timur melainkan di Jawa Tengah.
2.    Teori Konsistensi (Consistensy)
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[11] Artinya pertimbangan dikatakan benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Teori konsistensi ini mengemukakan bahwa kebenaran adalah ketetapsamaan kesan antar subjek terhadap objek yang sama. Seberapa jauh konsistensi antara tanggapan subjek yang satu dengan subjek yang lain menentukan validitas dari kebenaran yang ditangkap. Menurut teori ini, tidaklah cukup menjamin bahwa hubungan subjek-objek disebut kebenaran, mengingat watak setiap subjek yang selalu cenderung ke arah subjektivitas.[12]
Sebagai contoh konkretnya yaitu misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si fulan seorang manusia dan si fulan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.[13]
3.    Teori Pragmatisme (Pragmatism)
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah kebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini diantaranya adalah Wiliam James, John dewey, George Hobart Mead, dan C.I. Lewis.[14]
Pada umumnya teori ini memandang masalah kebenaran menurut segi kegunaannya. Teori ini berada di antara kedua teori di atas. Dengan mengutamakan nilai kegunaan, maka teori ini mencoba menyusun suatu konsep yang benar. Kegunaan yang dimaksud di sini adalah sejauh mana konsep kebenaran itu dapat dikerjakan secara nyata sehingga dapat memecahkan persoalan yang ada. Jadi sesuatu disebut benar, hanya kapan berguna dan mampu memecahkan problema yang ada.[15]
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, namun sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.[16] Tepat apa yang dinyatakan dalam pepatah “habis manis sepah dibuang”.
Perlu kita ketahui bahwa kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dari 3 pendekatan, yaitu:
1)   Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita.
2)   Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen.
3)   Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena itu teori-teori kebenaran (korespondensi, koherensi, dan pragmatisme) lebih bersifat saling menyempurnakan dari pada saling bertentangan. Maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran.
4.    Teori Religius (Religious)
Dalam epistimologi Islam, konsep kebenaran ilmu pengetahuan disamping mencakup kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatisme, juga yang bersifat Spiritual-Ilahiyyah. Artinya bahwa sumber ilmu pengetahuan selain mungkin didapat melalui akal rasional dan empiris indrawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian, dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaluddin Rumi, seorang sufi agung mengatakan bahwa kaki rasionalisme semata ialah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kbenaran.[17]
Teori Religius berpendirian bahwa kebenaran adalah kebenaran Ilahi (divine truth) yaitu kebenaran yang bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja. Ia juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai. Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Kebenaran religius menyangkutkan kebenaran pada rahmat Tuhan. Kebenaran demikian mungkin tak dapat dimengerti oleh rasio atau bertentangan dengan interes manusia. Suatu kesulitan ialah bahwa bilamana pendapat teori religius ini dihadapkan pada kaum nonreligius, maka pandangannya akan dianggap sebagai suatu dogma yaitu kepercayaan yang diyakini tanpa kritik. Tindakan menurut kaum ini berlawanan dengan sifat manusia yang rasional. Memang dapat dimengerti sangkalan kaum nonreligius ini jika dilihat bahwa kebenaran menurut teori religius adalah superrasional dan supernatural. Karena itu kuncinya tinggal “iman” saja. Hanya dengan imanlah, kebenaran ilahi bisa mengendalikan sifat liar manusia ke jalan lempang.[18]
C.  Jenis-jenis Kebenaran
Dalam bukunya Drs. H. Fathul Mufid, M.Si. yang berjudul “Filsafat Ilmu Islam” menjelaskan bahwa kebenaran terbagi menjadi dua, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non-ilmiah.
1.    Kebenaran ilmiah
Kebenaran ilmu pengetahuan disebut dengan kebenaran ilmiah. Karena ilmu pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dan metodis serta telah memenuhi syarat-syarat pengetahuan yang ilmiah. Di antaranya:
a.    Rasional (masuk akal dan sesuai dengan hukum alam)
b.    Empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan)
c.    Sistematis (Mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur)
d.   Obyektif (bebas dari prasangka perseorangan)
e.    Analitis (berusaha membedakan pokok persoalan ke dalam bagian-bagian yang terperinci)
f.     Verifikatif (dapat diperiksa/dibuktikan kebenarannya oleh siapapun juga)
Pengetahuan yang demikian itu tahan dalam pengujiannya, baik dipandang dari segi verifikasi empiris maupun rasional, karena kita tahu bahwa suatu cara pandang, metode dan sistem yang dipakai adalah berfilsafat secara empiris dan rasional dengan silih berganti.
Sedangkan kebenaran dalam berfilsafat itu ada 4 macam, diantaranya:
1)   Kebenaran Pragmatis
2)   Kebenaran Koresponden
3)   Kebenaran Koheren
4)   Kebenaran Normatif (kebenaran mutlak/absolut).[19]
Untuk lebih jelasnya disini pemakalah memberikan contoh konkret berkaitan dengan kebenaran ilmiah suatu ilmu pengetahuan. Contoh ini berbicara tentang teori ilmu Islam yang banyak diverifikasi/dibuktikan kebenarannya. Salah satunya berkaitan dengan pendidikan adalah sebagai berikut:





Keterangan:
Teori pembelajaran sudah masuk dalam teori normatif dan koheren, karena keserasian dengan sebuah teori yang sudah ada legalnya, yaitu bersumber dari Al-Qur’an. Dengan tidak diverifikasikan kebenarannya, kemudian teori pembelajaran diterapkan di sebuah lembaga sesuai dengan penggunaannya. Penerapan teori pembelajaran di sebuah lembaga pendidikan ini merupakan aplikasi dari teori pragmatis. Kemudian lembaga pendidikan ini mengeluarkan produk yang dicetuskan atau dikeluarkan dalam bentuk sekolah, sebagai contohnya “Madrasah” yang produknya adalah pendidikan berbasis Agama Islam. Produk ini nantinya digunakan untuk menarik masyarakat (stakeholder) agar mau menyekolahkan anaknya di madrasah tersebut. Setelah produk ini digunakan/dimanfaatkan oleh siswa, maka sebagai akibatnya adalah semakin giatnya masyarakat menyekolahkan anak-anaknya di madrasah tersebut. Hal ini disebabkan karena masyarakat telah mengetahui verifikasi/pembuktian dari adanya teori pembelajaran yang sesuai dengan dalil Al-Qur’an. Sehingga dirasakan menguntungkan kedua belah pihak.[20]
Dari kebenaran ilmiah ini maka akan menunjukkan adanya pemenuhan syarat ilmiah, terutama yang menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai dengan adanya bukti kebenaran rasional dan berlandaskan hasil uji lapangan yang biasa disebut dengan bukti empiris.[21]
2.    Kebenaran non-ilmiah
Kebenaran non-ilmiah tentunya berbeda dengan kebenaran ilmiah. Karena kebenaran non-ilmiah hanya diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah. Adapun faktor kebenaran non-ilmiah meliputi: kebenaran karena kebetulan, akal sehat, kewibawaan, intuitif, trial and error, dan kebenaran spekulatif.
Michael Williams menyebutkan beberapa teori kebenaran non-ilmiah sebagai berikut:
a.    Teori Kebenaran Proposisi
Teori ini mengatakan bahwa suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisinya benar. Proposisi merupakan pernyataan. Semisal kita tahu bahwa ½ gelas berisi air kalau dilukis akan memiliki gambar sama dengan setengah gelas kosong.
b.    Teori Kebenaran Performatif
Teori ini mengatakan bahwa sesuatu dikatakan benar apabila dapat diaktualkan dalam tindakan.[22]
Aristoteles mengatakan bahwa kebenaran ini subjektif sifatnya. Padahal kita tahu bahwa kebenaran menurut seseorang belum tentu benar menurut orang lain. Maka muncullah kebenaran relatif dan kebenaran mutlak, artinya kebenaran terkadang berubah sesuai dengan perkembangan pola pikir manusia atau paradigmanya.
c.    Teori Kebenaran Sintaksis
Kebenaran sintaksis adalah kebenaran  tata bahasa, sebab teori ini dipengaruhi oleh kejiwaan dan ekspresi, maka yang menerimanya adalah mereka yang memiliki keterkaitan kejiwaan bahkan terobsesi apabila tata bahasanya mengandung nuansa rasa.
d.   Teori Kebenaran Logika
Kebenaran logika yang berlebihan adalah kebenaran yang sebenarnya telah menjadi fakta, suatu pemborosan dalam pembuktiannya. Semisal: Lingkaran harus berbentuk bulat. Para ahli dengan dalil aksioma yang tidak perlu dibuktikan, namun sebenarnya pembuktian  itu berawal dari keraguan dan untuk meyakinkannya perlu mencari titik temu antara agama dan ilmu. Misalnya “Apakah Muhammad itu seorang Nabi?”.[23]
Kebenaran bermacam-macam jenisnya, tergantung dari sudut pandang mana orang berpijak untuk membaginya.
  • Dipandang dari segi “perantara” untuk mendapatkannya, maka kebenaran dibagi menjadi 4 yaitu:
1.    Kebenaran indrawi(empiris)
® yang ditemui dalam pengamatan pengalaman.
2.    Kebenaran ilmiah(rasional)
® yang diperoleh lewat konsepsi akal.
3.    Kebenaran filosofis(reflective thinking)
® yang dicapai dengan perenungan (murni).
4.    Kebenaran religius(supernatural)
® yang diterima melalui wahyu Ilahi.
  •  Dipandang dari segi “kekuasaan” untuk menekan orang menerimanya, maka kebenaran dibagi menjadi 2 yaitu:
             1. Kebenaran Subjektif
® yang hanya diterima oleh subjek pengamat sendiri. 
              2.    Kebenaran Objektif
® yang tidak hanya diakui oleh subjek pengamat, tetapi juga oleh subjek-subjek yang lain.
  • Dipandang dari segi “luas berlakunya”, maka kebenaran dibagi menjadi 2 yaitu:
1.      Kebenaran individual ® berlaku bagi perseorangan.
2.      Kebenaran universal ® berlaku bagi semua orang.
  • Dipandang dari segi “kualitasnya”, maka kebenaran dibagi menjadi 3 yaitu:
1.        Kebenaran dasar ® kebenaran yang paling rendah (minim).
2.        Kebenaran nisbi ® kebenaran yang relatif
3.        Kebenaran mutlak® kebenaran yang sempurna, yang sejati, yang hakiki (absolut).[24]

D.  Pandangan Islam tentang Kebenaran
Dalam pandangan Islam kebenaran itu hanya satu, bila dikaitkan dengan kebenaran yang ada di sisi Allah. Akan tetapi bila dikaitkan dengan interpretasi yang dilakukan manusia dalam mencari kebenaran yang satu tersebut, maka akhirnya akan melahirkan perbedaan dan pertentangan. Allah menganugrahi manusia dengan akal untuk berfikir sampai pada derajat keyakinan pada level manusia, bukan pada level Tuhan, sehingga manusia paham apa yang haq dan apa yang bathil, mana iman dan mana yang kufur, mana tauhid dan mana yang syirik, mana pendapat lemah dan mana pendapat yang kuat. keyakinan itulah yang akan menghantarkan kita kepada kekhusyu’an dan kenikmatan ibadah serta kebahagiaan yang sejati.
Dalam Islam kebenaran substansial dan esensial ayat-ayat Al-Qur’an bersifat deterministik, namun kebenaran tafsiran dan pemaknaan bersifat indeterministik, yaitu dapat dikembangkan secara terus-menerus. Bagi manusia disediakan kawasan yang indeterministik.[25]
Dalam bidang yuris prudensi, Islam mengenal adanya 2 teori. Pertama, teori mukhoti’ah yang mengatakan bahwa dari sekian ijtihad, pasti ada satu yang benar. Sedangkan teori kedua adalah teori mushowibah yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak satu tetapi banyak dan bisa diperoleh melalui berbagai interpretasi yang berbeda terhadap suatu persoalan.
Al-Qur’an Al-Karim yang terdiri atas 6.236 ayat itu menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian serta bentuk konkret dari ayat-ayat qauliyah tentang persoalan tersebut sering disebut dengan ayat-ayat kauniyah. Bagi Islam mengakui kebenaran bila yang empirik faktual, koheren dengan kebenaran transedental berupa wahyu.[26]


BAB III PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.    Hakekat Kebenaran
Kebenaran adalah kesetiaan keputusan atas fakta atau realita obyektif. Apabila keputusan tidak bisa dibandingkan dengan fakta atau realitas, maka jalan yang ditempuh adalah menghubungkan keputusan tersebut dengan keputusan-keputusan lain yang telah dipercayai kebenaran dan kesahihannya, setelah itu keputusan tersebut diuji berdasarkan kegunaan dan akibat-akibat praktis dari keputusan tersebut.
2.    Teori-teori Kebenaran antara lain:
1)   Teori Korespondensi (Correspondence)
2)   Teori Konsistensi (Consistensy)
3)   Teori Pragmatisme (Pragmatism)
4)   Teori Religius (Religious)

5)   Jenis-jenis Kebenaran
Kebenaran bermacam-macam jenisnya, tergantung dari sudut pandang mana orang berpijak untuk membaginya. Semuanya telah dijelaskan dalam bab pembahasan khususnya rumusan masalah yang ke-3.
6)   Pandangan Islam tentang kebenaran
Islam mengakui kebenaran, bila sesuatu itu empirik faktual, koheren dengan kebenaran transedental berupa wahyu.

B.  Penutup
Demikianlah makalah yang dapatpemakalah paparkan tentang “Validitas Kebenaran Ilmu Pengetahuan”. Tak ada gading yang tak retak, dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang konstruktif serta bimbingan dan arahan dari Bapak dosen selalu penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.


~*~*00O00*~*~












DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta, 2008.

Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, Buku Daros STAIN Kudus Press, Kudus,2008.

George Thomas White Patrick, Introduction To Philosophy, Houghton  Mifflin Company, Boston, 1935.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kebenaran, diunduh pada hari Senin, tgl 12 Oktober 2015, pukul 10.30 WIB.

Inu Kencana Syafi’i, Al-Qur’an adalah Filsafat, PT.Perca, Jakarta, 2003.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007.

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu (Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme), Reksadana, Yogyakarta, 2001.

Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Oxford University Press, New York, 2011.

Purwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1995.

Rizal Muntansyir dan Misal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2003.

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1991.

Sutarjdo A. Wiramiharja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2007.

~*~*00O00*~*~


[1]Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, Buku Daros STAIN Kudus Press, Kudus,2008, hlm.91.
[2]Purwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm.114.
[3]Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta, 2008. hlm.5.
[4]https://id.wikipedia.org/wiki/Kebenaran, diunduh pada hari Senin, tgl 12 Oktober 2015, pukul 10.30 WIB.
[5]Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Oxford University Press, New York, 2011, 4th edition, Page 477.

[6]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm 135.
[7]Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 12-13.
[8]George Thomas White Patrick, Introduction To Philosophy, Houghton  Mifflin Company, Boston, 1935, Page 32.
[9]Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu (Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme), Reksadana, Yogyakarta, 2001, hlm. 14.
[10]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007, hlm. 570.
[11]Ibid, hlm. 55.
[12]Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Cet. 1, hlm. 58.
[13]Fathul Mufid, Op.cit., hlm 94.
[14]Jujun S. Suriasumantri, Op.cit., hlm. 57.
[15]Burhanuddin Salam, Op.cit., hlm. 58.
[16]Jujun S. Suriasumantri, Op.cit., hlm. 59.
[17]Fathul Mufid, Op.cit., hlm. 96-97.
[18]Burhanuddin Salam, Op.cit., hlm. 58-60.
[19]Fathul Mufid, Op.cit., hlm 97-99.
[20]Ibid, hlm 100-101.
[21]Sutarjdo A. Wiramiharja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 33.
[22]Noeng Muhadjir, Op.cit., hlm. 16
[23]Inu Kencana Syafi’i, Al-Qur’an adalah Filsafat, PT.Perca, Jakarta, 2003, hlm 26.
[24]Burhanuddin Salam, Op.cit., hlm 63-64.
[25]Fathul Mufid, Op.cit., hlm. 104-105.
[26]Rizal Muntansyir dan Misal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2003, hlm. 12.