VALIDITAS KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat
Ilmu
Dosen Pengampu
: Dr. H.Fathul Mufid, M.Si.
Angkatan 4 Kelas
D
Disusun
Oleh :
Ù†َÙŠْÙ„َ
السَّعَادَÙ‡ْ
Nailassa’adah, S.Pd.I.(14060)
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN
2015
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, mengembangkan, menjelaskan, serta menyampaikan nilai-nilai
kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak
sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan
manusia. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat
manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha
“memeluk” suatu kebenaran.Jika manusia
mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan
kebenaran itu. Sebaliknya tanpa melaksanakan kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin dan konflik spikologis.
Manusia
memiliki potensi untuk mencari, menemukan, dan menerima kebenaran ilmu
pengetahuan, karena pada diri manusia terdapat lima dimensi yaitu, Al-Jism,
Al-aql, Al-qolb, Al-ruh, dan Al-fitroh. Dalam sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan atau sejarah pengungkapan kebenaran tercatat bahwa dua dimensi
yang pertama yaitu, Al-jism (indrawi, sensoris) dan Al-Aql
(pikiran, rasional) telah berkembang mencapai puncaknya. Bahkan di dunia Barat
kedua dimensi ini diyakini sebagai sumber kebenaran dan sarana pengembangan
ilmu pengetahuan.[1]
Berhubungan
dengan latar belakang di atas, maka dalam makalah ini pemakalah akan menyajikan
beberapa pokok pembahasan, diantaranya tentang hakekat kebenaran, teori-teori
kebenaran, Jenis-jenis kebenaran, dan kebenaran dalam pandangan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa hakekat
dari sebuah kebenaran itu?
2.
Apa
saja teori-teori kebenaran menurut para filosof?
3.
Apa
saja jenis-jenis kebenaran?
4.
Bagaimana
pandangan Islam tentang kebenaran?
BAB II. PEMBAHASAN
A. Hakekat Kebenaran
Kebenaran berasal dari kata “benar” yang mendapat awalan dan imbuhan
(ke-an), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa benar
berarti: 1. Sesuai sebagaimana adanya (seharusnya), betul, tidak salah apa yang
dikatakan itu, 2. Tidak berat sebelah (adil), 3. dapat dipercaya (cocok dengan
keadaan yang sesungguhnya). Sehingga makna kebenaran adalah keadaan yang cocok
dengan keadaan yang sesungguhnya.[2]
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek.[3]
Bisa juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yang sesuai dengan
tidak ditolak oleh orang lain dan tidak merugikan diri sendiri.
Kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang
merupakan obyek dan pengetahuan tidak sesuai.Pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang sesuai dengan obyek, yakni pengetahuan yang obyektif.[4]
Menurut Oxford Learner's Pocket Dictionary, truth atau kebenaran itu adalah:
“The true facts about something, rather than things that have been invented
or guessed, quality or state of being based on fact, fact that is generally
accepted as true”.[5]
Kamus Oxford menterjemahkan kebenaran dengan beberapa pengertian:
1.
Fakta atau keyakinan yang dapat
diterima sebagai sesuatu yang benar.
2.
Kualitas atau keberadaan yang benar.
3.
Kebenaran adalah satu dari dua
pilihan penilaian terhadap suatu hal yang diberikan seseorang setelah melalui
serangkaian pertimbangan yang didasarkan pada suatu standar.
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata yang konkret
maupun abstrak. Kebenaran merupakan proposisi yang benar. Proposisi maksudnya
adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.
Apabila subjek menyatakan bahwa kebenaran itu merupakan proposisi yang diuji
itu pasti memiliki kualitas, sifat, dan karakteristik, hubungan dan nilai. Hal
yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari
kualitas, sifat hubungan dan nilai itu sendiri.[6]
Sedang Sidi Gazalba dalam bukunya yang berjudul “Sistematika
Filsafat” menjelaskan bahwa makna “kebenaran” adalah soal hubungan antara
ilmu pengetahuan dengan apa yang menjadi obyeknya. Artinya, apabila terdapat
penyesuaian dalam hubungan antara obyek dan pengetahuan kita tentang obyek itu,
sehingga kebenaran adalah hubungan antara ide-ide kita tentang dunia realitas.[7]
Sedangkan pemakalah sendiri menyimpulkan bahwa hakekat Kebenaran
adalah kesetiaan keputusan atas fakta atau realita obyektif. Hal ini sesuai
dengan pendapatnya Bapak Fathul Mufid dalam bukunya yang berjudul “Filsafat
Ilmu Islam”.Apabila keputusan tidak bisa dibandingkan dengan fakta atau
realitas, maka jalan yang ditempuh adalah menghubungkan keputusan tersebut
dengan keputusan-keputusan lain yang telah dipercayai kebenaran dan
kesahihannya, setelah itu keputusan tersebut diuji berdasarkan kegunaan dan
akibat-akibat praktis dari keputusan tersebut. Hakekat tentang suatu kebenaran
ini dapat pemakalah simpulkan setelah memahami teori-teori kebenaran menurut
Para Filosof.
B. Teori-teori Kebenaran Menurut Para
Filosof
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang
dianggap benar, para filosof bersandar kepada 4 cara untuk menguji kebenaran,
yaitu teori koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau
konsistensi, teori pragmatis, dan teori religius. Sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh John S.
Brubacher dalam bukunya yang berjudul “Modern Philosophies of Education”
mengemukakan empat teori tentang kebenaran sebagai berikut:
1.
Teori Korespondensi (Correspondence)
Berfikir korespondensi adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu
itu relevan dengan sesuatu yang lain. Korespondensi relevan dibuktikan adanya
kejadian sejalan antara fakta dengan yang diyakini. Ujian kebenaran teori
korespondensi ini paling banyak diterima secara luas oleh kelompok realis.
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif(fidelity to objective reality).Sebagaimana
dikatakan oleh White Patrick “truth is that which conforms to fact, which
agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can
be defined as fidelity to objective reality”.[8]Kebenaran
adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri,
atau antara pertimbangan dengan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk
melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau
pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[9]
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan dikatakan benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut.[10]
Jadi, sesuatu pertimbangan atau pernyataan sesuai dengan fakta, maka
pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan atau pernyataan itu
dianggap salah.
Untuk lebih jelasnya, pemakalah akan memberikan contoh konkretnya.
Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “STAIN Kudus merupakan salah satu
PTAIN yang berada di Jawa Tengah”, maka pernyataan itu benar. Sebab pernyataan
tersebut sesuai dengan obyek yang bersifat faktual, yakni STAIN Kudus berada di
kota Kudus, yang mana kota Kudus memang benar-benar berada di provinsi Jawa
Tengah. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “STAIN Kudus merupakan salah
satu PTAIN yang berada di Jawa Timur”, maka pernyataan itu tidak benar, sebab
tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka
secara faktual “STAIN Kudus bukan berada di Jawa Timur melainkan di Jawa
Tengah.
2.
Teori Konsistensi (Consistensy)
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.[11]
Artinya pertimbangan dikatakan benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten
dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren
menurut logika.
Teori konsistensi ini mengemukakan bahwa kebenaran adalah
ketetapsamaan kesan antar subjek terhadap objek yang sama. Seberapa jauh
konsistensi antara tanggapan subjek yang satu dengan subjek yang lain
menentukan validitas dari kebenaran yang ditangkap. Menurut teori ini, tidaklah
cukup menjamin bahwa hubungan subjek-objek disebut kebenaran, mengingat watak
setiap subjek yang selalu cenderung ke arah subjektivitas.[12]
Sebagai contoh konkretnya yaitu misalnya, bila kita menganggap
bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka
pernyataan bahwa “si fulan seorang manusia dan si fulan pasti akan mati” adalah
benar pula, sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.[13]
3.
Teori Pragmatisme (Pragmatism)
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to make Ideals
Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang
kebanyakan adalah kebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering
dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini diantaranya adalah
Wiliam James, John dewey, George Hobart Mead, dan C.I. Lewis.[14]
Pada umumnya teori ini memandang masalah kebenaran menurut segi
kegunaannya. Teori ini berada di antara kedua teori di atas. Dengan
mengutamakan nilai kegunaan, maka teori ini mencoba menyusun suatu konsep yang
benar. Kegunaan yang dimaksud di sini adalah sejauh mana konsep kebenaran itu
dapat dikerjakan secara nyata sehingga dapat memecahkan persoalan yang ada.
Jadi sesuatu disebut benar, hanya kapan berguna dan mampu memecahkan problema
yang ada.[15]
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan
ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian.
Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat pragmatis selama
pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap
benar, namun sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan.[16]
Tepat apa yang dinyatakan dalam pepatah “habis manis sepah dibuang”.
Perlu kita ketahui bahwa kriteria kebenaran cenderung menekankan
satu atau lebih dari 3 pendekatan, yaitu:
1)
Yang
benar adalah yang memuaskan keinginan kita.
2)
Yang
benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen.
3)
Yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena itu teori-teori kebenaran (korespondensi, koherensi,
dan pragmatisme) lebih bersifat saling menyempurnakan dari pada saling
bertentangan. Maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran.
4.
Teori Religius (Religious)
Dalam
epistimologi Islam, konsep kebenaran ilmu pengetahuan disamping mencakup
kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatisme, juga yang bersifat
Spiritual-Ilahiyyah. Artinya bahwa sumber ilmu pengetahuan selain mungkin
didapat melalui akal rasional dan empiris indrawi (observasi) juga niscaya
didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah,
latihan-latihan ruhani, penyaksian, dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata
Jalaluddin Rumi, seorang sufi agung mengatakan bahwa kaki rasionalisme semata
ialah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kbenaran.[17]
Teori Religius
berpendirian bahwa kebenaran adalah kebenaran Ilahi (divine truth) yaitu
kebenaran yang bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Manusia
bukan semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan
saja. Ia juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai. Kebenaran tidak
cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab
kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran
haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.
Kebenaran
religius menyangkutkan kebenaran pada rahmat Tuhan. Kebenaran demikian mungkin
tak dapat dimengerti oleh rasio atau bertentangan dengan interes manusia. Suatu
kesulitan ialah bahwa bilamana pendapat teori religius ini dihadapkan pada kaum
nonreligius, maka pandangannya akan dianggap sebagai suatu dogma yaitu
kepercayaan yang diyakini tanpa kritik. Tindakan menurut kaum ini berlawanan
dengan sifat manusia yang rasional. Memang dapat dimengerti sangkalan kaum
nonreligius ini jika dilihat bahwa kebenaran menurut teori religius adalah
superrasional dan supernatural. Karena itu kuncinya tinggal “iman” saja. Hanya
dengan imanlah, kebenaran ilahi bisa mengendalikan sifat liar manusia ke jalan
lempang.[18]
C. Jenis-jenis Kebenaran
Dalam bukunya Drs. H. Fathul Mufid, M.Si. yang berjudul “Filsafat
Ilmu Islam” menjelaskan bahwa kebenaran terbagi menjadi dua, yaitu
kebenaran ilmiah dan kebenaran non-ilmiah.
1.
Kebenaran
ilmiah
Kebenaran ilmu pengetahuan disebut dengan kebenaran ilmiah. Karena
ilmu pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan yang telah disusun secara
sistematis dan metodis serta telah memenuhi syarat-syarat pengetahuan yang
ilmiah. Di antaranya:
a.
Rasional
(masuk akal dan sesuai dengan hukum alam)
b.
Empiris
(berdasarkan pengamatan dan percobaan)
c.
Sistematis
(Mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur)
d.
Obyektif
(bebas dari prasangka perseorangan)
e.
Analitis
(berusaha membedakan pokok persoalan ke dalam bagian-bagian yang terperinci)
f.
Verifikatif
(dapat diperiksa/dibuktikan kebenarannya oleh siapapun juga)
Pengetahuan yang demikian itu tahan dalam pengujiannya, baik
dipandang dari segi verifikasi empiris maupun rasional, karena kita tahu bahwa
suatu cara pandang, metode dan sistem yang dipakai adalah berfilsafat secara
empiris dan rasional dengan silih berganti.
Sedangkan kebenaran dalam berfilsafat itu ada 4 macam, diantaranya:
1)
Kebenaran
Pragmatis
2)
Kebenaran
Koresponden
3)
Kebenaran
Koheren
4)
Kebenaran
Normatif (kebenaran mutlak/absolut).[19]
Untuk lebih jelasnya disini pemakalah memberikan contoh konkret berkaitan
dengan kebenaran ilmiah suatu ilmu pengetahuan. Contoh ini berbicara tentang
teori ilmu Islam yang banyak diverifikasi/dibuktikan kebenarannya. Salah
satunya berkaitan dengan pendidikan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Teori pembelajaran sudah masuk dalam teori normatif dan koheren,
karena keserasian dengan sebuah teori yang sudah ada legalnya, yaitu bersumber
dari Al-Qur’an. Dengan tidak diverifikasikan kebenarannya, kemudian teori
pembelajaran diterapkan di sebuah lembaga sesuai dengan penggunaannya.
Penerapan teori pembelajaran di sebuah lembaga pendidikan ini merupakan
aplikasi dari teori pragmatis. Kemudian lembaga pendidikan ini mengeluarkan
produk yang dicetuskan atau dikeluarkan dalam bentuk sekolah, sebagai contohnya
“Madrasah” yang produknya adalah pendidikan berbasis Agama Islam. Produk ini
nantinya digunakan untuk menarik masyarakat (stakeholder) agar mau
menyekolahkan anaknya di madrasah tersebut. Setelah produk ini
digunakan/dimanfaatkan oleh siswa, maka sebagai akibatnya adalah semakin
giatnya masyarakat menyekolahkan anak-anaknya di madrasah tersebut. Hal ini
disebabkan karena masyarakat telah mengetahui verifikasi/pembuktian dari adanya
teori pembelajaran yang sesuai dengan dalil Al-Qur’an. Sehingga dirasakan
menguntungkan kedua belah pihak.[20]
Dari kebenaran ilmiah ini maka akan menunjukkan adanya pemenuhan
syarat ilmiah, terutama yang menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai
dengan adanya bukti kebenaran rasional dan berlandaskan hasil uji lapangan yang
biasa disebut dengan bukti empiris.[21]
2.
Kebenaran
non-ilmiah
Kebenaran non-ilmiah tentunya berbeda dengan kebenaran ilmiah.
Karena kebenaran non-ilmiah hanya diperoleh berdasarkan penalaran logika
ilmiah. Adapun faktor kebenaran non-ilmiah meliputi: kebenaran karena
kebetulan, akal sehat, kewibawaan, intuitif, trial and error, dan
kebenaran spekulatif.
Michael Williams menyebutkan beberapa teori kebenaran non-ilmiah
sebagai berikut:
a.
Teori
Kebenaran Proposisi
Teori ini mengatakan bahwa suatu kebenaran dapat diperoleh bila
proposisinya benar. Proposisi merupakan pernyataan. Semisal kita tahu bahwa ½
gelas berisi air kalau dilukis akan memiliki gambar sama dengan setengah gelas
kosong.
b.
Teori
Kebenaran Performatif
Teori ini mengatakan bahwa sesuatu dikatakan benar apabila dapat
diaktualkan dalam tindakan.[22]
Aristoteles mengatakan bahwa kebenaran ini subjektif sifatnya.
Padahal kita tahu bahwa kebenaran menurut seseorang belum tentu benar menurut
orang lain. Maka muncullah kebenaran relatif dan kebenaran mutlak, artinya
kebenaran terkadang berubah sesuai dengan perkembangan pola pikir manusia atau
paradigmanya.
c.
Teori
Kebenaran Sintaksis
Kebenaran sintaksis adalah kebenaran tata bahasa, sebab teori ini dipengaruhi oleh
kejiwaan dan ekspresi, maka yang menerimanya adalah mereka yang memiliki
keterkaitan kejiwaan bahkan terobsesi apabila tata bahasanya mengandung nuansa
rasa.
d.
Teori
Kebenaran Logika
Kebenaran logika yang berlebihan adalah kebenaran yang sebenarnya
telah menjadi fakta, suatu pemborosan dalam pembuktiannya. Semisal: Lingkaran
harus berbentuk bulat. Para ahli dengan dalil aksioma yang tidak perlu
dibuktikan, namun sebenarnya pembuktian
itu berawal dari keraguan dan untuk meyakinkannya perlu mencari titik
temu antara agama dan ilmu. Misalnya “Apakah Muhammad itu seorang Nabi?”.[23]
Kebenaran
bermacam-macam jenisnya, tergantung dari sudut pandang mana orang berpijak
untuk membaginya.
- Dipandang dari segi “perantara” untuk mendapatkannya, maka kebenaran dibagi menjadi 4 yaitu:
1.
Kebenaran
indrawi(empiris)
® yang ditemui dalam pengamatan pengalaman.
2.
Kebenaran
ilmiah(rasional)
® yang diperoleh lewat konsepsi akal.
3.
Kebenaran
filosofis(reflective thinking)
® yang dicapai dengan perenungan (murni).
4.
Kebenaran
religius(supernatural)
® yang diterima melalui wahyu Ilahi.
- Dipandang dari segi “kekuasaan” untuk menekan orang menerimanya, maka kebenaran dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Kebenaran
Subjektif
® yang hanya diterima oleh subjek pengamat sendiri.
2.
Kebenaran
Objektif
® yang tidak hanya diakui oleh subjek pengamat, tetapi juga oleh
subjek-subjek yang lain.
- Dipandang dari segi “luas berlakunya”, maka kebenaran dibagi menjadi 2 yaitu:
1.
Kebenaran
individual ®
berlaku bagi perseorangan.
2.
Kebenaran
universal ®
berlaku bagi semua orang.
- Dipandang dari segi “kualitasnya”, maka kebenaran dibagi menjadi 3 yaitu:
1.
Kebenaran
dasar ® kebenaran yang paling rendah (minim).
2.
Kebenaran
nisbi ®
kebenaran yang relatif
D. Pandangan Islam tentang Kebenaran
Dalam pandangan Islam kebenaran itu
hanya satu, bila dikaitkan dengan kebenaran yang ada di sisi Allah. Akan tetapi
bila dikaitkan dengan interpretasi yang dilakukan manusia dalam mencari
kebenaran yang satu tersebut, maka akhirnya akan melahirkan perbedaan dan
pertentangan. Allah menganugrahi manusia dengan akal untuk berfikir sampai pada
derajat keyakinan pada level manusia, bukan pada level Tuhan, sehingga manusia
paham apa yang haq dan apa yang bathil, mana iman dan mana yang kufur, mana
tauhid dan mana yang syirik, mana pendapat lemah dan mana pendapat yang kuat.
keyakinan itulah yang akan menghantarkan kita kepada kekhusyu’an dan kenikmatan
ibadah serta kebahagiaan yang sejati.
Dalam Islam kebenaran substansial
dan esensial ayat-ayat Al-Qur’an bersifat deterministik, namun kebenaran
tafsiran dan pemaknaan bersifat indeterministik, yaitu dapat dikembangkan
secara terus-menerus. Bagi manusia disediakan kawasan yang indeterministik.[25]
Dalam bidang yuris prudensi, Islam
mengenal adanya 2 teori. Pertama, teori mukhoti’ah yang mengatakan bahwa
dari sekian ijtihad, pasti ada satu yang benar. Sedangkan teori kedua adalah
teori mushowibah yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak satu tetapi
banyak dan bisa diperoleh melalui berbagai interpretasi yang berbeda terhadap
suatu persoalan.
Al-Qur’an Al-Karim yang terdiri atas
6.236 ayat itu menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain
menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian serta bentuk konkret dari
ayat-ayat qauliyah tentang persoalan tersebut sering disebut dengan
ayat-ayat kauniyah. Bagi Islam mengakui kebenaran bila yang empirik
faktual, koheren dengan kebenaran transedental berupa wahyu.[26]
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Hakekat
Kebenaran
Kebenaran adalah
kesetiaan keputusan atas fakta atau realita obyektif. Apabila keputusan tidak
bisa dibandingkan dengan fakta atau realitas, maka jalan yang ditempuh adalah
menghubungkan keputusan tersebut dengan keputusan-keputusan lain yang telah
dipercayai kebenaran dan kesahihannya, setelah itu keputusan tersebut diuji berdasarkan
kegunaan dan akibat-akibat praktis dari keputusan tersebut.
2.
Teori-teori
Kebenaran antara lain:
1)
Teori
Korespondensi (Correspondence)
2)
Teori
Konsistensi (Consistensy)
3)
Teori
Pragmatisme (Pragmatism)
4)
Teori
Religius (Religious)
5)
Jenis-jenis
Kebenaran
Kebenaran
bermacam-macam jenisnya, tergantung dari sudut pandang mana orang berpijak
untuk membaginya. Semuanya telah dijelaskan dalam bab pembahasan khususnya
rumusan masalah yang ke-3.
6)
Pandangan
Islam tentang kebenaran
Islam
mengakui kebenaran, bila sesuatu itu empirik faktual, koheren dengan kebenaran
transedental berupa wahyu.
B. Penutup
Demikianlah
makalah yang dapatpemakalah paparkan tentang “Validitas Kebenaran Ilmu
Pengetahuan”. Tak ada gading yang tak retak, dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik yang konstruktif serta bimbingan dan arahan dari Bapak dosen selalu
penulis harapkan. Akhirnya, penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
~*~*00O00*~*~
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta,
1997.
Dani
Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Indeks,
Jakarta, 2008.
Fathul
Mufid, Filsafat Ilmu Islam, Buku Daros STAIN Kudus Press, Kudus,2008.
George
Thomas White Patrick, Introduction To Philosophy, Houghton Mifflin Company, Boston, 1935.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebenaran, diunduh pada hari Senin, tgl 12 Oktober 2015, pukul 10.30 WIB.
Inu
Kencana Syafi’i, Al-Qur’an adalah Filsafat, PT.Perca, Jakarta, 2003.
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2007.
Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu (Positivisme, Post Positivisme, dan Post
Modernisme), Reksadana, Yogyakarta, 2001.
Oxford
Learner’s Pocket Dictionary, Oxford
University Press, New York, 2011.
Rizal
Muntansyir dan Misal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
2003.
Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1991.
Sutarjdo
A. Wiramiharja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006.
Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta,
2007.
~*~*00O00*~*~
[1]Fathul Mufid, Filsafat
Ilmu Islam, Buku Daros STAIN Kudus Press, Kudus,2008, hlm.91.
[2]Purwadarminto, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm.114.
[4]https://id.wikipedia.org/wiki/Kebenaran, diunduh pada
hari Senin, tgl 12 Oktober 2015, pukul 10.30 WIB.
[5]Oxford
Learner’s Pocket Dictionary, Oxford University Press, New York, 2011, 4th edition,
Page 477.
[6]Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2007,
hlm 135.
[7]Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 12-13.
[8]George Thomas
White Patrick, Introduction To Philosophy, Houghton Mifflin Company, Boston, 1935, Page 32.
[9]Noeng Muhadjir,
Filsafat Ilmu (Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme), Reksadana,
Yogyakarta, 2001, hlm. 14.
[10]Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2007, hlm. 570.
[12]Burhanuddin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta,
1997, Cet. 1, hlm. 58.
[13]Fathul Mufid, Op.cit.,
hlm 94.
[14]Jujun S.
Suriasumantri, Op.cit., hlm. 57.
[15]Burhanuddin
Salam, Op.cit., hlm. 58.
[16]Jujun S.
Suriasumantri, Op.cit., hlm. 59.
[17]Fathul Mufid, Op.cit.,
hlm. 96-97.
[18]Burhanuddin
Salam, Op.cit., hlm. 58-60.
[19]Fathul Mufid, Op.cit.,
hlm 97-99.
[21]Sutarjdo A.
Wiramiharja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 33.
[22]Noeng Muhadjir,
Op.cit., hlm. 16
[23]Inu Kencana
Syafi’i, Al-Qur’an adalah Filsafat, PT.Perca, Jakarta, 2003, hlm 26.
[24]Burhanuddin
Salam, Op.cit., hlm 63-64.
[25]Fathul Mufid, Op.cit.,
hlm. 104-105.
[26]Rizal
Muntansyir dan Misal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
2003, hlm. 12.